AKREDITASI SEKOLAH


I. Definisi Akreditasi Sekolah/Madrasah

Akreditasi sekolah/madrasah merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah atau lembaga yang berwenang untuk menentukan tingkat kelayakan suatu sekolah/madrasah berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, sebagai bentuk akuntabilitas publik yang dilakukan secara obyektif, adil, transparan, dan komprehensif dengan menggunakan instrumen dan kriteria yang mengacu kepada Standar Nasional Pendidikan.

Akreditasi ini pada dasarnya dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah BAN-S/M. Hasil dari akreditasi tersebut diwujudkan dalam bentuk pengakuan peringkat kelayakan. Serta diberikan sertifikat kelayakan dari BAN-S/M sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Sekolah yang terakreditasi diperingkat menjadi tiga klasifikasi, yaitu:

A Amat Baik

B Baik

C Cukup Baik

Sedangkan sekolah yang tingkat kelayakannya kurang dari cukup, dikategorikan belum terakreditasi. Sekolah yang nilainya kurang dari C, dinyatakan tidak terakreditasi dan tidak diberi sertifikat. Sekolah yang nilainya kurang dari B tidak berhak untuk mengeluarkan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) bagi para siswanya. Status akreditasi ini berlaku selama kurun waktu 5 tahun setelah dikeluarkannya surat keputusan. Namun setelah kurun waktu 5 tahun tersebut, sekolah/madarasah harus melakukan pengujian akreditasi ulang.

Sampai saat ini, setiap sekolah/madrasah berusaha untuk mendapatkan peringkat akreditasi A atau setidaknya B. Berarti dengan kata lain, sekolah/madrasah tersebut menginginkan adanya pengakuan bahwa mereka memiliki tingkat kelayakan yang jauh atau setidaknya sama dengan standar yang berlaku. Namun, jika masih ada sekolah yang tingkat kelayakannya masih dibawah standar, maka harus dilakukan beberapa tindakan, yaitu :

a) Melakukan penetapan akreditasi sekolah/madrasah yang digunakan sebagai tolak ukur/kriteria yang akan dicapai. Karena sekolah merupakan suatu sistem yang terdiri dari sejumlah komponen yang saling terkait, maka perlu dilakukan penetapan terlebih dahulu.

b) Menilai kinerja dan kelayakan sekolah/madrasah melalui tindakan membandingkan masing-masing sekolah/madrasah menurut kenyataan dengan standar yang telah ditetapkan masing-masing sekolah/madrasah tersebut.


Dasar Hukum Akreditasi Sekolah/Madrasah


Akreditasi sekolah/madrasah merupakan suatu hal yang penting. Karena akreditasi merupakan salah satu upaya untuk mengukur kelayakan suatu sekolah/madrasah. Selain itu, sebagai upaya untuk menjamin kualitas suatu sekolah/madarasah. Sehingga, untuk mengatur itu semua, diperlukan dasar hukum yang jelas.

Pada Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Pasal 2 ayat (2) tentang Standar Nasional Pendidikan menyatakan bahwa penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan yang sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan (SNP) perlu dilakukan tiga program terintegrasi yaitu evaluasi, akreditasi dan sertifikasi. Proses evaluasi terhadap seluruh aspek pendidikan harus diarahkan pada upaya untuk menjamin terselenggaranya layanan pendidikan bermutu dan memberdayakan mereka yang dievaluasi sehingga menghasilkan lulusan pendidikan sesuai standar yang ditetapkan. Standarisasi pendidikan memiliki makna sebagai upaya penyamaan arah pendidikan secara nasional yang mempunyai keleluasaan dan keluwesan dalam implementasinya. SNP harus dijadikan acuan oleh pengelola pendidikan, dan di sisi lain menjadi pendorong tumbuhnya inisiatif dan kreativitas untuk mencapai standar minimal yang ditetapkan.

Penegasan tentang pentingnya akreditasi dapat dilihat pada Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), BAB XVI Bagian Kedua Pasal 60, tentang Akreditasi yang berbunyi sebagai berikut :

1. Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.

2. Akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik.

3. Akreditasi dilakukan atas dasar kriteria yang bersifat terbuka.

4. Ketentuan mengenai akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Mengingat pentingnya akreditasi sebagai salah satu upaya untuk menjamin dan mengendalikan kualitas pendidikan, maka pemerintah melalui Peraturan Mendiknas Nomor 29 Tahun 2005 membentuk Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M), sebagai pengganti institusi pelaksana akreditasi sekolah yang lama yaitu Badan Akreditasi Sekolah Nasional (BASNAS). Pelaksanaan akreditasi oleh BAN-S/M didasarkan atas Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional khususnya pasal 60, serta Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang SNP. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, Pasal 86 dinyatakan hal-hal sebagai berikut :

1. Pemerintah melakukan akreditasi pada setiap jenjang dan satuan pendidikan untuk menentukan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan.

2. Kewenangan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula dilakukan oleh lembaga mandiri yang diberi kewenangan oleh Pemerintah untuk melakukan akreditasi.

3. Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sebagai bentuk akuntabilitas publik dilakukan secara obyektif, adil, transparan, dan komprehensif dengan menggunakan instrumen dan kriteria yang mengacu kepada Standar Nasional Pendidikan.



II. Persyaratan dan Prosedur Akreditasi Sekolah


Sekolah merupakan sistem dari berbagai komponen dan saling terkait. Untuk mengetahui bahwa sekolah/madrasah tersebut layak, maka perlu dilakukan pengakreditasian. Sekolah yang diakreditasi meliputi Taman Kanak-kanak(TK)/Raudhatul Atfal(RA), Sekolah Dasar(SD)/Madrasah Ibtidaiyah(MI), Sekolah Menengah Pertama(SLTP)/Madrasah Tsanawiyah(MTs), Sekolah Menengah Umum(SMU)/Madrasah Aliyah(MA), Sekolah Luar Biasa(SLB), dan Sekolah Menengah Kejuruan(SMK)/Madrasah Aliyah Kejuruan(MAK). Berdasarkan keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 087/V/2002 tanggal 14 Juni 2004 tentang Akreditasi sekolah, Komponen sekolah yang mengalami penilaian adalah yang dikembangkan dari kualitas sekolah yaitu kurikulum dan proses belajar mengajar, manajemen sekolah, organisasi/kelembagaan sekolah, sarana dan prasarana, ketenagaan, pembiayaan, peserta didik, peran serta masyarakat dan lingkungan/kultur sekolah/madrasah. Untuk melakukan akreditasisasi, Sekolah/madrasah harus memiliki berbagai persyaratan, yaitu :

· Memiliki surat keputusan kelembagaan Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) sekolah/madrasah,

· Memiliki siswa pada semua tingkatan kelas,

· Memiliki sarana dan prasarana pendidikan,

· Memiliki tenaga kependidikan,

· Melaksanakan kurikulum nasional, dan

· Telah menamatkan peserta didik.

Akreditas dilakukan bagi sekolah/madrasah yang telah menyatakan siap melalui evaluasi diri dan melakukan pengajuan pemohonan akreditasi kepada BAP-S/M. Berikut mekanisme dan prosedur akreditasi sekolah/madrasah.

Tahap-tahap untuk melakukan pengakreditasian, yaitu : Sekolah/madrasah sekolah/madrasah memenuhi syarat untuk akreditasi dan mendapat rekomendasi dari Dinas Pendidikan lalu sekolah/madrasah mengajukan permohonan kepada BAN-S/M untuk melakukan proses akreditasi dengan mengisi instrumen evaluasi diri BAN-S/M dan mengembalikannya ke BAN-S/M, selanjutnya dilakukan penilaian Evaluasi Diri oleh BAN-S/M, Bila nilai Evaluasi Diri kurang dari 56 maka sekolah yang bersangkutan tidak layak untuk di visitasi. Dengan demikian proses akreditasi tidak dilanjutkan.

Pada tahap visitasi dan rapat pleno BAN-S/M, BAN-S/M membentuk dan menugaskan Tim asesor untuk melakukan visitasi ke sekolah (2-3 orang/ 2-5 hari/ sesuai kebutuhan), Tim asesor mengunjungi sekolah untuk verifikasi dan validasi data/informasi evaluasi diri, kemudian melakukan klarifikasi temuan dengan kepala sekolah/tim responden, Tim asesor membuat laporan individual dan laporan TIM untuk kemudian diserahkan ke BAN-S/M, dan rapat pleno BAN-S/M untuk menentukan hasil akreditasi dan menerbitkan Surat Kuputusan BAN-S/M. Jika tidak terakreditasi maka kembali peran dan pembinaan Pengawas Sekolah sangat dibutuhkan dalam melengkapi kembali komponen-komponen akreditasi yang masing kurang dan menyusun kembali Evaluasi Diri sekolah. Selanjutnya dapat mengajukan kembali untuk akreditasi pada tahun berikutnya.


III. Manfaat dan Tujuan Akreditasi Sekolah/Madrasah


Akreditasi memiliki banyak manfaat dan tujuan untuk semua kalangan. Baik bagi kepala sekolah, guru, masyarakat (orang tua peserta didik) dan peserta didik.

a) Kepala Sekolah/Madrasah

Bagi kepala sekolah/madrasah, akreditasi dapat dijadikan acuan untuk meningkatkan kelayak sekolah/madrasah, meningkatkan kinerja warga sekolah/madrasah, termasuk kinerja kepala sekolah/madrasah selama periode kepemimpinannya serta menyusun program anggaran pendapatan dan belanja sekolah/madrasah.

b) Guru

Untuk para guru, akreditasi dapat dijadikan suatu dorongan untuk melakukan atau memberi pelayanan yang lebih baik untuk meningkatkan pengetahuan peserta didiknya, guna meningkatkan atau setidaknya mempertahankan mutu sekolah/madrasah yang dinaunginya.

c) Masyarakat (orang tua peserta didik)

Bagi kalangan masyarakat, khususnya para orang tua peserta didik, hasil akreditasi dapat dijadikan suatu informasi yang paling baik mengenai layananan pendidikan yang terdapat di sekolah/madrasah tersebut. Sehingga para orang tua peserta didik dapat memilih dan mengambil keputusan mengenai kebutuhan sekolah/madrasah atau dapat memilih sekolah/madrasah yang tepat untuk anak-anak mereka.

d) Peserta didik

Secara tidak langsung, hasil akreditasi dapat meningkatkan rasa percaya diri mereka karena mereka telah mendapatkan pendidikan yang layak selain itu menumbuhkan semangat peserta didik untuk meningkatkan kemampuan mereka. Sertifikat sekolah/madrasah yang terakreditasi merupakan bukti jika mereka telah mendapatkan pendidikan yang bermutu.

Akreditasi sekolah/madrasah bertujuan untuk memberikan informasi tentang kelayakan sekolah/madrasah atau program yang dilaksanakannya berdasarkan Standar Nasional Pendidikan, mendapat pengakuan tingkat kelayakan dan memberikan rekomendasi mengenai mutu pendidikan kepada program dan/satuan pendidikan yang diakreditasi serta pihak yang terkait. Sedangakan menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 087/U/2002, menyebutkan bahwa akreditasi sekolah/madrsah bertujuan untuk :

· Memperoleh gambaran kinerja sekolah yang dapat digunakan sebagai alat pembinaan, pengembangan dan peningkatan mutu

· Menentukan tingkat kelayakan dan kinerja suatu sekolah dalam penyelenggaraan pelayan pendidikan

Selain tujuan tersebut, hasil akreditasi sekolah/madrasah bermanfaat sebagai berikut :

a. Patokan untuk meningkatkan mutu sekolah/madrasah serta pengembangannya,

b. Mengembangkan kinerja warga sekolah,

c. Motivator, agar sekolah/madrasah dapat terus meningkatkan mutu pelayanan pendidikan secara bertahap, terencana dan kompetitif,

d. Sebagai acuan untuk meningkatkan dukungan dari pemerintah, masyarakat, maupun sektor swasta dalam berbagai hal,

e. Acuan bagi lembaga terkait dalam mempertimbangkan kewenangan sekolah/madrasah sebagai penyelenggara ujian nasional.


IV. Fungsi Akreditasi

Dengan menggunakan instrumen akreditasi yang komprehensif, hasil akreditasi diharapkan dapat memetakan secara utuh profil sekolah/madrasah. Proses akreditasi sekolah/madrasah berfungsi untuk hal-hal berikut:

1. Pengetahuan

Sebagai pusat informasi untuk semua pihak mengenai kelayakan sekolah/madrasah dilihat dari berbagai unsur yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.

2. Akuntabilitas

Sebagai pertanggung-jawaban sekolah/madrasah kepada semua kalangan masyarakat mengenai pemenuhan keinginan dan harapan masyarakat kepada sekolah/madrasah tentang kebutuhan pendidikan yang layak.

3. Pengetahuan dan pengembangan

Sebagai dasar sekolah/madrasah untuk meningkatkan pengetahuan dan pengembangan pendidikan demi meningkatkan mutu sekolah/madrasah tersebut.

V. Prinsip Akreditasi

Prinsip-prinsip yang dijadikan pedoman untuk melaksanakan akreditasi sekolah/madrasah adalah sebagai berikut :

1) Objektif

Akreditasi pada dasarnya merupakan penilaian mengenai kelayakan penyelenggaraan pendidikan pada suatu sekolah/madrasah. Agar hasil penilaian itu dapat menggambarkan kondisi yang sebenarnya untuk dibandingkan dengan kondisi yang diharapkan maka dalam prosesnya digunakan indikator-indikator terkait dengan kriteria-kriteria yang ditetapkan.

2) Komprehensif

Pada pelaksanaan akreditasi sekolah/madrasah, penilaian meliputi berbagai komponen pendidikan yang bersifat menyeluruh, tidak hanya fokus pada aspek-aspek tertentu saja. Sehingga, hasil diperoleh dapat menggambarkan secara utuh kondisi kelayakan sekolah/madrasah dalam kenyataannya.

3) Adil

Semua sekolah/madrasah yang melakukan akreditasi harus diperlakukan dengan sama rata tanpa membeda-bedakannya. Sekolah/madrasah harus dilayani sesuai dengan mekanisme yang berlaku serta tidak melakukan hal yang diskriminatif.

4) Transparan

Data dan informasi yang berkaitan dengan pelaksanaan akreditasi sekolah/madrasah seperti kriteria, mekanisme kerja, jadwal serta sistem penilaian akreditasi dan lainnya harus disampaikan secara terbuka dan dapat diakses oleh siapa saja yang memerlukannya.

5) Akuntabel

Pelaksanaan akreditasi sekolah/madrasah harus dilaksanakan secara dipertanggung jawabkan dari segala sisi. Baik sisi penilai maupun keputusannya sesuai dengan aturan dan prosedur yang telah ditetapkan.

6) Professional

Pelaksanaan akreditasi sekolah/madrasah dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kompetensi dan integritas yang tinggi.

STANDAR PEMBIAYAAN PENDIDIKAN


Standar pembiayaan adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun. Konstitusi amandemen UUD l945 mengamanatkan bahwa pemerintah mempunyai kewajiban mengalokasikan biaya pendidikan sebesar 20% dari APBN dan 20% dari APBD selain gaji guru agar mutu dan pemerataan pendidikan dapat lebih ditingkatkan. Upaya peningkatan mutu dan perluasan kesempatan memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah memerlukan adanya standar nasional bidang pendidikan. Untuk itu pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. l9 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang memberikan pengaturan standar nasional pendidikan sekaligus merupakan kriteria minimal yang harus dipenuhi dalam sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pelaksanaan PP No. 19 Tahun 2005 membawa implikasi terhadap perlunya disusun standar pembiayaan yang meliputi standarisasi komponen biaya pendidikan yang meliputi biaya operasional, biaya investasi dan biaya personal. Selanjutnya dinyatakan bahwa standar biaya-biaya satuan pendidikan ini ditetapkan dengan Peraturan Menteri berdasarkan usulan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Standar pembiayaan pendidikan ini diharapkan dapat dijadikan acuan dalam penyelenggaraan pendidikan di setiap Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertaman (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di seluruh Indonesia.

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional lebih lanjut telah mengatur beberapa pasal yang menjelaskan pendanaan pendidikan yaitu pada Pasal 11 Ayat 2 Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun. Lebih lanjut pada Pasal 12, Ayat (1) disebutkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya dan mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya. Di samping itu disebutkan pula bahwa setiap peserta didik berkewajiban ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada Bab VIII Wajib Belajar Pasal 34 menyatakan bahwa setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar; Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat. Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (3) diatur lebih lanjut dengan PP. Pendanaan Pendidikan menjadi tanggungjawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan. Pengelolaan dana pendidikan dilakukan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.


Pada Peraturan Pemerintah No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan terdapat kerancuan antara Bab I Pasal 1 Ayat (10) dan Bab IX Pasal 62 Ayat (1) s/d (5) tentang ruang lingkup standar pembiayaan. Ketentuan Umum tentang Standar Pembiayaan pada Pasal 1 tampak lebih sempit dari Pasal 62 yaitu standar pembiayaan pada Pasal 1 adalah mencakup standar yang mengatur komponen dan besarnya “biaya operasi” satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun. Pada Pasal 62 mencakup “biaya investasi, biaya operasi dan biaya personal”. Pada Bab IX: Standar Pembiayaan, Pasal 62 disebutkan bahwa:

(1) Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal.

(2) Biaya investasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap.

(3) Biaya personal sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan.

(4) Biaya operasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi:

a. Gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji.

b. Bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan

c. Biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya.

(5) Standar biaya operasi satuan pendidikan ditetapkan dengan Peraturan Menteri berdasarkan usulan BSNP

Sebelum PP tentang standar pembiayaan pendidikan ini dikeluarkan, telah ada SK Mendiknas tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan (SPM) yaitu Kepmendiknas No.053/U/2001 yang menyatakan bahwa SPM bidang pendidikan adalah tolok ukur kinerja pelayanan pendidikan atau acuan bagi penyelenggaraan pendidikan di provinsi dan kabupaten/kota sebagai daerah otonom. Penyusunan SPM bidang Pendidikan Dasar dan Menengah mengacu kepada PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom mengisyaratkan adanya hak dan kewenangan Pemerintah Pusat untuk membuat kebijakan tentang perencanaan nasional dan standarisasi nasional.

Konsep Pembiayaan Pendidikan

A. Sistem Pembiayaan Pendidikan

Sistem pembiayaan pendidikan merupakan proses dimana pendapatan dan sumber daya tersedia digunakan untuk memformulasikan dan mengoperasionalkan sekolah. Sistem pembiayaan pendidikan sangat bervariasi tergantung dari kondisi masing-masing negara seperti kondisi geografis, tingkat pendidikan, kondisi politik pendidikan, hukum pendidikan, ekonomi pendidikan, program pembiayaan pemerintah dan administrasi sekolah.


Setiap keputusan dalam masalah pembiayaan sekolah akan mempengaruhi bagaimana sumber daya diperoleh dan dialokasikan. Oleh karena itu perlu dilihat siapa yang akan dididik dan seberapa banyak jasa pendidikan dapat disediakan, bagaimana mereka akan dididik, siapa yang akan membayar biaya pendidikan.


Menurut Levin (1987) pembiayaan sekolah adalah proses dimana pendapatan dan sumber daya tersedia digunakan untuk memformulasikan dan mengoperasionalkan sekolah di berbagai wilayah geografis dan tingkat pendidikan yang berbeda-beda. Pembiayaan sekolah ini berkaitan dengan bidang politik pendidikan dan program pembiayaan pemerintah serta administrasi sekolah. Beberapa istilah yang sering digunakan dalam pembiayaan sekolah, yakni school revenues, school expenditures, capital dan current cost. Dalam pembiayaan sekolah tidak ada pendekatan tunggal dan yang paling baik untuk pembiayaan semua sekolah karena kondisi tiap sekolah berbeda.

Menurut J. Wiseman (1987) terdapat tiga aspek yang perlu dikaji dalam melihat apakah pemerintahan perlu terlibat dalam masalah pembiayaan pendidikan:

  • Kebutuhan dan ketersediaan pendidikan terkait dengan sektor pendidikan dapat dianggap sebagai salah satu alat perdagangan dan kebutuhan akan investasi dalam sumberdaya manusia/human capital
  • Pembiayaan pendidikan terkait dengan hak orang tua dan murid untuk memilih menyekolahkan anaknya ke pendidikan yang akan berdampak pada social benefit secara keseluruhan
  • Pengaruh faktor politik dan ekonomi terhadap sektor pendidikan

Dalam hal pendidikan kejuruan dan industri, M. Woodhall (1987) menjelaskan bahwa di masa lalu pembiayaan pendidikan jenis ini ditanggung oleh perusahaan. Perusahaan memberi subsidi kepada para pekerjanya sendiri. Sekarang peran pemerintah semakin besar dalam pembiayaan ini. Hal itu disebabkan adanya kepentingan ekonomi. Artinya kebijakan ketenagakerjaan, diharapkan dapat meningkatkan kepentingan untuk membagi biaya dan manfaat dari pendidikan ini dengan adil.

B. Pendekatan Kecukupan (Adequacy Approach)

Pengukuran biaya pendidikan seringkali menitikberatkan kepada ketersediaan dana yang ada namun secara bersamaan seringkali mengabaikan adanya standar minimal untuk melakukan pelayanan pendidikan. Konsep pendekatan kecukupan menjadi penting karena memasukkan berbagai standar kualitas dalam perhitungan pembiayaan pendidikan. Sehingga berdasarkan berbagai tingkat kualitas pelayanan pendidikan tersebut dapat ditunjukkan adanya variasi biaya pendidikan yang cukup ideal untuk mencapai standar kualitas tersebut. Analisis kecukupan biaya pendidikan ini telah digunakan di beberapa negara bagian Amerika Serikat untuk mengalokasikan dana pendidikan. Berbagai studi di Indonesia telah pula mencoba memperhitungkan biaya pendidikan berdasarkan standar kecukupan.

Perhitungan biaya pendidikan berdasarkan pendekatan kecukupan ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya:

  • Besar kecilnya sebuah institusi pendidikan
  • Jumlah siswa
  • Tingkat gaji guru (karena bidang pendidikan dianggap sebagai highly labour intensive)
  • Rasio siswa dibandingkan jumlah guru
  • Kualifikasi guru
  • Tingkat pertumbuhan populasi penduduk (khususnya di negara berkembang)
  • Perubahan dari pendapatan (revenue theory of cost)